1 Kode Etik Profesi Jurnalistik

Minggu, 05 April 2015
Kode Etik Profesi Jurnalistik

Wartawan adalah sebuah profesi. Dengan kata lain, wartawan adalah seorang profesional,seperti halnya dokter, bidan, guru, atau pengacara yang punya kode etik. Sebuah pekerjaan bisa disebut sebagai profesi jika memiliki empat hal berikut, sebagaimana dikemukakan seorang sarjana India, Dr. Lakshamana Rao:
1.     Harus terdapat kebebasan dalam pekerjaan.
2.     Harus ada panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan itu.
3.     Harus ada keahlian (expertise).
4.     Harus ada tanggung jawab yang terikat pada kode etik pekerjaan. (Assegaf, 1987).
wartawan (Indonesia) sudah memenuhi keempat kriteria profesioal tersebut.  

1. Wartawan memiliki kebebasan yang disebut kebebasan pers, yakni kebebasan mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. UU No. 40/1999 tentang Pers menyebutkan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2). Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara maksimal dua tahun atau dena maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1). Meskipun demikian, kebebasan di sini dibatasi dengan kewajiban menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1).


pada prakteknya, kebebasan pers sebagaimana dipelopori para penggagas Libertarian Press pada akhirnya lebih banyak dinikmati oleh pemilik modal atau owner media massa. Akibatnya, para jurnalis dan penulisnya harus tunduk pada kepentingan pemilik atau setidaknya pada visi, misi, dan rubrikasi media tersebut. Sebuah koran di Bandung bahkan sering “mengebiri” kreativitas wartawannya sendiri selain mem-black list sejumlah penulis yang tidak disukainya

2. Jam kerja wartawan adalah 24 jam sehari karena peristiwa yang harus diliputnya sering tidak   terduga dan bisa terjadi kapan saja. Sebagai seorang profesional, wartawan harus terjun ke lapangan meliputnya. Itulah panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan sebagai wartawan. Bahkan, wartawan kadang-kadang harus bekerja dalam keadaan bahaya. Mereka ingin –dan harus begitu– menjadi orang pertama dalam mendapatkan berita dan mengenali para pemimpin dan orang-orang ternama.

3. Wartawan memiliki keahlian tertentu, yakni keahlian mencari, meliput, dan menulis berita, termasuk keahlian dalam berbahasa tulisan dan Bahasa Jurnalistik.
4.                      
     4. Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik (Pasal 7 ayat (2) UU No. 40/1999 tentang Pers). Dalam penjelasan disebutkan, yang dimaksud dengan Kode Etik Jurnalistik adalah Kode Etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.
Kode Etik Jurnalistik PWI
KEJ pertama kali dikeluarkan dikeluarkan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). KEJ itu antara lain menetapkan.
1.     Berita diperoleh dengan cara yang jujur.
2.     Meneliti kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum menyiarkan (check and recheck).
3.     Sebisanya membedakan antara kejadian (fact) dan pendapat (opinion).
4.  Menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak mau disebut namanya. Dalam hal ini, seorang wartawan tidak boleh memberi tahu di mana ia mendapat beritanya jika orang yang memberikannya memintanya untuk merahasiakannya.
5.     Tidak memberitakan keterangan yang diberikan secara off the record (for your eyes only).
6.    Dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu suratkabar atau penerbitan, untuk kesetiakawanan profesi.
Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)
Ketika Indonesia memasuki era reformasi dengan berakhirnya rezim Orde Baru, organisasi wartawan yang tadinya “tunggal”, yakni hanya PWI, menjadi banyak. Maka, KEJ pun hanya “berlaku” bagi wartawan yang menjadi anggota PWI.
Namun demikian, organisasi wartawan yang muncul selain PWI pun memandang penting adanya Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus 1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi wartawan berkumpul di Bandung dan menandatangani  Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Sebagian besar isinya mirip dengan KEJ PWI.
KEWI berintikan tujuh hal sebagai berikut:
1.    Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2. Wartawan Indonesia menempuh tatacara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.
4.     Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
5.     Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
6.  Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan.
7.  Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.

KEWI kemudian ditetapkan sebagai Kode Etik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia. Penetapan dilakukan Dewan Pers sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.
Penetapan Kode Etik itu guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat. Kode Etik harus menjadi landasan moral atau etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan. Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik tersebut sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.

Pelanggaran-Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik

Sumber Imajiner
Sumber berita dalam liputan pers harus jelas dan tidak boleh fiktif. Satu harian di Medan melaporkan bahwa dalam suatu kasus dugaan korupsi di Partai Golkar Sumatera Utara, Kepolisian Daerah Sumut telah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3). Menurut harian ini, sumber berita adalah Komisaris Besar A. Nainggolan dari Hubungan Masyarakat Polda Sumut yang diumumkan dalam sebuah konferensi pers. Ternyata pertemuan itu tidak pernah ada. Begitu pula petugas humas yang dimaksud itu juga tidak pernah mengeluarkan pernyataan seperti itu. Dengan kata lain, sumber beritanya fiktif.
Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan harian ini karena telah membuat berita dengan sumber imajiner alias tidak ada atau fiktif.

Identitas dan Foto Korban Susila Anak-Anak Dimuat 
Sesuai dengan asas moralitas, menurut Kode Etik Jurnalistik, masa depan anak-anak harus dilindungi. Oleh karena itu, jika ada anak di bawah umur, baik sebagai pelaku maupun korban kejahatan kesusilaan, identitasnya harus dilindungi.
Pemuatan nama dan pemasangan foto korban susila di bawah umur inilah yang melanggar Kode Etik Jurnalistik.

Tidak Paham Makna "Off the Record"
Menurut Kode Etik Jurnalistik, wartawan wajib menghormati ketentuan tentang off the record. Artinya, apabila narasumber sudah mengatakan bahan yang diberikan atau dikatakannya adalah off the record, wartawan tidak boleh menyiarkannya. Kalau wartawan tidak bersedia terikat dengan hal itu, sejak awal ia boleh membatalkan pertemuan dengan narasumber yang ingin menyatakan keterangan off the record. 
Begitu pula off the record tidak berlaku bagi informasi yang sudah menjadi rahasia umum. Ini pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik. Pelanggaran semacam ini menurunkan kredibilitas pers, sebab jika hal seperti ini sering terjadi maka narasumber tidak akan lagi percaya kepada pers.

Tidak Memperhatikan Kredibilitas Narasumber
Berita ini tidak main-main. Judulnya: "Dua Jenderal Berebut Seorang Janda." Adapun yang dimaksud dengan dua jenderal pun tidak tanggung-tanggung, yaitu dua tokoh militer Indonesia: Try Sutrisno, mantan panglima TNI dan juga mantan wakil presiden, serta Edy Sudrajat yang juga mantan panglima TNI. Tetapi, berita ini merupakan contoh bagaimana pers sering kurang memperhatikan kredibilitas narasumber.

Menyiarkan Gambar Ilustrasi Sembarangan
Pemasangan foto atau penyiaran gambar ilustrasi dalam pers harus memperhatikan relevansi sosial serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Pemasangan foto atau penyiaran gambar illustrasi yang sembarangan dapat diterima dengan makna yang jauh berlainan, dan karena itu dapat menjadi pelanggaran terhadap Kode Etik jurnalistik. 
Penyiaran berita suatu peristiwa tanpa dicek dahulu kebenarannya merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik karena mungkin tidak akurat, tidak melakukan pengecekan terhadap sumber informasi, dan cenderung menjadi fitnah. Setelah mengetahui kesalahannya, stasiun televisi itu segera meralat dan meminta maaf atas kesalahannya.

Wawancara Fiktif
Untuk mengejar eksklusivitas, ada wartawan yang akhirnya melakukan kesalahan fatal. Untuk membuktikan kehebatannya, sebagian wartawan sampai menipu masyarakat dengan wawancara yang sebenarnya tidak pernah ada alias fiktif.
Ini juga jelas merupakan pelanggaran berat terhadap Kode Etik Jurnalistik karena melakukan pemberitaan bohong dan fitnah.

Tidak Memakai Akal Sehat (Common Sense)
Banyak wartawan yang dalam menyiarkan berita melupakan unsur akal sehat. Berita pers pada dasarnya tetap harus mengacu kepada akal sehat atau common sense. Apabila ada berita yang berada di luar akal sehat, harus dilakukan pengecekan berkali-kali sampai terbukti apakah berita itu benar atau tidak. Prinsip yang dipakai dalam hal ini adalah, pertama-tama, wartawan harus lebih dahulu bersikap skeptis atau cenderung tidak percaya terhadap berita yang tidak masuk akal, sampai memang terbukti sebaliknya bahwa berita itu benar adanya.

Tidak Melayani Hak Jawab Secara Benar
Hak Jawab merupakan hal yang sangat penting dalam mekanisme kerja pers. Begitu pentingnya Hak Jawab sehingga soal ini diatur baik dalam tingkat undang-undang maupun dalam Kode Etik Jurnalistik. Hak Jawab memiliki dimensi demokratis dalam pers. Adanya Hak Jawab menyebabkan publik memiliki akses kepada informasi pers dan sekaligus sebagai sarana untuk membela kepentingan mereka terhadap informasi yang merugikan mereka atau kelompoknya. Maka baik menurut undang-undang maupun Kode Etik Jurnalistik, pers wajib melayani hak jawab. Pers yang tidak melayani hak jawab melanggar Kode Etik Jurnalistik (dan juga undang-undang).

Membocorkan Identitas Narasumber
Dalam kasus tertentu wartawan mempunyai Hak Tolak, yakni hak untuk tidak mengungkapkan identitas narasumber. Hak ini dipakai karena pada satu sisi pers membutuhkan informasi dari narasumber yang ada, tetapi pada sisi lain keselamatan narasumber (dan juga mungkin keluarganya) dapat terancam kalau informasi itu disiarkan.

KETENTUAN PIDANA

Pasal 4
a)      Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran:
- Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b)      - Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c)      - Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d)     - Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e)     - Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran: 
a)     - Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b)      - Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah. 

Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran:
a)      - Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b)  - Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 18
Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).

Contoh Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik
Ledakan Bom Di Hotel Ritz-Carlton Dan JW Mariot.


Memuat gambar sadis dan melanggar Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik adalah pemberitaan tentang ledakan bom di Hotel Ritz-Carlton dan JW Mariott, Kuningan, bulan Juli tahun lalu. Pada siaran langsung suasana tempat kejadian beberapa saat setelah bom meledak, Metro TV memuat gambar Tim Mackay, Presiden Direktur PT Holcim Indonesia, yang berdarah-darah dan tampak tidak beradaya, di jalanan. Penanyangan gambar tersebut tentu tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalisitk dan dapat menimbulkan dampak traumatis bagi penonton yang melihat.






Referensi :

https://zainuddinjambi.wordpress.com/kode-etik-jurnalistik/
http://reporter.lpds.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=86:pelanggaran-pelanggaran-kode-etik-jurnalistik&catid=1:etika-media&Itemid=6
http://romeltea.com/kode-etik-jurnalistik-etika-profesi-wartawan/
Read more »»   
 
Fendi Pandu Aditya © 2011 | | Template Blogger Name | | Template Transparent | 2.0